MAKALAH
HUKUM
PIDANA DI DALAM KODIFIKASI
“SUMPAH
PALSU DAN KETERANGAN PALSU”
MEINEED
EN VALSCHHEID IN VERKLARINGEN
PASAL
242-243
DOSEN
PEMBIMBING : Sahata Simamora, S.H., M.H.
DISUSUN OLEH
NAMA :
Eva Apriani
NIM :
A1011141089
KELAS :
C (Reg A)
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
TANJUNGPURA
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin banyak nikmat yang Allah SWT
berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk
Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ”SUMPAH PALSU DAN KETERANGAN PALSU” Pasal 242-243.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada: kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis
yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar dan
tidak lupa pula dosen pembimbing Bapak Sahata Simamora, S.H., M.H. dari sanalah
semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi .
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan
dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik
lagi.
Akhir
kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Pontianak,
5 Desember 2015
Penyusun
Eva
Apriani
i
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………i
DAFTAR
ISI……………………….……………………………………………...ii
BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………..1
1.1
Latar Belakang……………………………………………………………1
1.2
Rumusan Masalah………………………………………………………..1
1.3
Tujuan Penulisan…………………………………………………………2
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………….………...3
2.1 Pengertian
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu……………….………..3
2.2 Isi Pasal 242-243 KUHP…………………………………………………4
2.3 Unsur-unsur Pasal 242 KUHP…………………………………………....6
2.4 Unsur-unsur
Objektif Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu……………9
2.5 Unsur-unsur
Subyektif Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu …..…….10
2.6 Penegakan Hukum Terhadap Saksi yang Memberikan
Keterangan Palsu dalam Proses Peradilan Pidana……………………………...………..…11
2.7 Undang-Undang yang Terkait dengan Sumpah
Palsu dan Keterangan Palsu ………………………………………………………………..…...12
BAB
III PENUTUP………………………………………………………………13
3.1
Kesimpulan………………………………………………………………...13
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………..14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hukum
Pidana di Dalam Kodifikasi, Kodifikasi
adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara
sistematis dan lengkap. Hukum pidana secara tradisional adalah “Hukum
yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan
terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa
badan”. Pengertian lain adalah, “Hukum
pidana adalah peraturan hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti
hal yang “dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang
berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan
juga hal yang tidak dilimpahkan sehari-hari.
Tindak
Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum
untuk istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda walaupun
secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit. Pengertian
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat
bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau
dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi
pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau
bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana
atau tidak diberi sanksi pidana.
Mengenai
tindak pidana yang dibahas dalam makalah ini adalah tindak pidana terhadap
“Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu” yaitu memberikan pernyataan di ruang publik
yang mengadakan akibat hukum dan berkaitan dengan pernyataannya tersebut dapat
merugian pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat pernyataan tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu
1.
Apakah
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu itu dan bagaimana Pembuktiannya ?
2.
Apakah
keterangan palsu di bawah sumpah itu harus diproses hukum setelah ada perintah
dari hakim ?
1
3.
Bagaimana
jika pemberi keterangan merasa bahwa keterangan yang diberikan adalah benar
atau merasa tidak palsu, apakah pemberi keterangan tetap bisa diproses sebagai
tersangka ?
4.
Apakah
sanksi yang didapat bagi si pemberi keterangan palsu dan berapa lama ancaman
pidananya ?
1.3
Tujuan Penulis
Berdasarkan pada rumusan
masalah di atas, maka tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu :
a) Untuk mengetahui
ketetapan-ketetapan dari hukum pidana positif yaitu hukum yang berlaku pada
saat ini dan tentang delik atau tindak pidana mengenai “Sumpah Palsu dan Keterangan palsu”.
b) Untuk menjelaskan ketentuan
dari hukum pidana tersebut bagi pelaku pemberi “Sumpah Palsu dan Keterangan
palsu”.
Diharapkan setiap pembaca dapat memahami,
mengambil pelajaran, dan mendapatkan ilmu dari makalah ini mengenai “Sumpah
Palsu dan Keterangan palsu” dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi
pembaca.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Pengertian
Pemalsuan adalah Suatu perbuatan yang disengaja meniru suatu karya orang lain
untuk tujuan tertentu tanpa ijin yang bersangkutan (illegal) / melanggar hak
cipta orang lain. Keterangan palsu adalah keterangan yang tidak benar atau
bertentangan dengan keterangan yang sesungguhnya, menyatakan keadaan
lain daripada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan disengaja oleh
yang bersangkutan/saksi).
Memberi
keterangan palsu itu sejak zaman dahulu kala telah dipandang sebagai kesalahan
yang amat buruk, pada sekarang ini dianggap sebagai merusak kewajiban terhadap
kesetiaan umum, berdusta/berbohong, tidak jujur dan
mengelabui, bukan hanya kepada hakim, jaksa dan pengacara dalam sidang
pengadilan, tetapi telah berdusta terhadap masyarakat/public atau sebagai
kedustaan terhadap Tuhan, demikian pula terhadap hakim yang menjalankan
peradilan atas nama Tuhan.
Supaya
dapat dihukum pembuat harus mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan
dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan
palsu ini diatas sumpah. Jika pembuat menyangka bahwa keterangnnya itu sesuai
dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain
perkataan jika pernyataan bahwa ia sebenarnya tidak mengenal sesungguhnya mana
yang benar, maka ia tidak dapat dihukum. Mendiamkan (menyembunyikan) kebenaran
itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan
keadaan lain daripada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (dengan
sengaja).
Sesuai ketentuan, sumpah
dapat diucapkan sebelum atau sesudah memberikan keterangan. Menurut Lembaran
Negara (LN) 1920 No 69, sumpah dilakukan menurut agama atau keyakinan/
kepercayaan orang yang bersumpah. Suatu perjanjian juga dapat disamakan dengan
sumpah. Sebelum KUHAP berlaku, UU yang memerintahkan keterangan atas sumpah
adalah Herziene Indoneisa Reglement (HIR). Pasal 147 dan 265 HIR menentukan,
saksi dalam perkara pidana
3
dan perdata harus
terlebih dahulu disumpah menurut agama dan kepercayaannya.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP
menyebutkan, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah pernyataannya di sidang
pengadilan. Sehingga, dengan memberikan keterangan palsu (lisan), atau tidak
dengan sebenarnya atau tidak sesuai fakta, padahal saksi sendiri sebenarnya
mengetahui, melihat dan mengalami hal (fakta) sebenarnya. Namun, dikatakannya
tidak tahu, atau lupa, tidak (pernah) melakukannya, tidak ikut melakukan, tidak
mengenal si terdakwa/tersangka atau saksi lain, tidak ikut menerima (misal
sejumlah uang), dan seterusnya. Maka, saksi dikenakan sanksi pidana dengan memberikan
keterangan palsu.
Sedangkan membuat
keterangan palsu (tertulis), yakni berupa surat pernyataan, mengubah (menambah,
mengurangi atau merekayasa) surat tersebut sedemikian rupa, sehingga isinya
tidak sesuai dengan (fakta) yang sebenarnya. Caranya bermacam-macam, tidak
senantiasa perlu, bahwa surat keterangannya itu diganti dengan yang lain. Dapat
pula dilakukan dengan jalan mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari
isi surat tersebut (pembohongan), sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa
kriteria pemberian keterangan palsu, baik lisan maupun tertulis, yang isinya
tidak sesuai dengan yang sebenarnya (fakta). Setiap perbuatan memberikan
keterangan palsu, lisan atau tertulis diancam dengan hukuman pidana (pasal 242
ayat 1, 2 dan 3 KUHP).
2.2 Isi Pasal 242-243 KUHP
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Pasal 242
1.
Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya member keterangan
di atas sumpah atau mengadakan akibat
hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu
di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh
kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
2.
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
3.
Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan diharuskan menurut
4
aturan-
aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.
4.
Pidana
pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.
Pasal
242
Ditiadakan berdasarkan Stbl. 1931 No. 240
Yang dimaksud dalam pasal 242 ayat (4) KUHP berdasarkan pasal 35 No. 1-4 isinya, yaitu :
1)
Hak-hak
terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan
dalam kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :
1.
Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2.
Hak
memasuki Angkatan Bersenjata;
3.
Hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum;
4.
Hak
menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi
wali, wali pengawas, pengampun atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan
anak sendiri.
Terjemahan pasal 242 KUHP yang dibuat oleh P.A.F. Lamintang dan C.D.
Samosir, yaitu,
(1) Barangsiapa di dalam
hal-hal di mana peraturan undang-undang menghendaki suatu keterangan diberikan
diberikan di bawah sumpah atau yang padanya diikatkan akibat-akibat hukum,
telah dengan sengaja memberi keterangan palsu di bawah sumpah, baik secara
lisan maupun tulisan, baik oleh orang itu sendiri ataupun oleh seorang kuasa
yang secara khusus dikuasakan untuk itu, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Apabila keterangan palsu
yang diberikan di bawah sumpah itu di dalam suatu perkara pidana telah
merugikan orang yang diadukan atau orang yang dituduh, maka orang yang bersalah
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
(3) Dipersamakan dengan sumpah
adalah janji atau pembenaran, yang diminta berdasarkan peraturan-peraturan umum
atau yang diminta untuk menggantikan sumpah.
5
(4) Hukuman berupa pencabutan
hak-hak seperti yang diatur di dalam pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.
Tindak
pidana pokok dalam Pasal 242 KUHPidana adalah tindak pidana yang dirumuskan
dalam ayat (1). Dalam ayat (2) diatur mengenai penberatan pidana, dalam ayat
(3) diatur mengenai apa yang disamakan dengan sumpah, sedangkan dalam ayat (4)
diatur mengenai pidana tambahan.
2.3 Unsur-unsur
Pasal 242 KUHP
Unsur-unsur
pada pasal 242 KUHP, yaitu :
a)
Berhubungan
dengan kesaksian
b)
Dilakukan dengan sengaja
c)
UU memberikan atau memerintahkan yang bersangkutan harus
memberi keterangan atau sumpah
d)
Keterangan atau sumpah tersebut mengandung kepalsuan, memberikan keterangan yang
tidak asli (tidak benar seolah-olah benar)
e)
Olehnya sendiri atau wakilnya yang ditunjuk untuk itu
f)
Dilakukan secara lisan atau tertulis
g)
Akibat
keterangan palsu tersebut merugikan pihak terdakwa atau memberatkan pihak
terdakwa
h)
Menimbulkan akibat hukum karena adanya sumpah keterangan
palsu tersebut.
Unsur-unsur
dari tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP, yang diancam
pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, adalah sebagai
berikut:
1. Dalam
keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas/di
bawah sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian;
2.
Dengan sengaja;
3. Memberi keterangan palsu di atas/di bawah
sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu.
Unsur-unsur
Pasal 242 ayat (1) KUHPidana tersebut akan dibahas satu demi satu berikut ini.
6
(1).
Dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di
atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian.
Oleh
S.R. Sianturi diberikan contoh-contoh dari peraturan perundang-undangan yang
mewajibkan seseorang harus mengucapkan sumpah sebagai berikut,
a. Pasal
147 HIR untuk perkara perdata yang berbunyi: “Jika tidak diminta mengundurkan
diri atau kalau permintaan itu ditentukan tidak beralasan, maka saksi itu,
sebelum memberi keterangan disumpah dahulu menurut agamanya”.
b. Pasal 1911
KUHPerdata: “Saksi wajib bersumpah atau berjanji sesuai dengan agama yang dianutnya, bahwa mereka akan
menerangkan yang sebenarnya”.
c. Pasal 115
(2) Undang-undang Kepailitan: “…ataupun menuntut supaya siberpiutang menguatkan
dengan sumpah kebenaran piutangnya…”.
d.
Pasal 160 (3) dan (4) KUHAP di bidang perkara pidana yang berbunyi:
“(3)
sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberi keterangan yang sebenarnya
dan tidak lain daripada yang sebenarnya”;
“(4)
Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau
berjanji sesudah saksi atau ahli itu memberi keterangan”.
Periksalah
juga pasal 116 dan 120 KUHAP mengenai pengangkatan sumpah atau pengucapan janji
oleh saksi atau ahli pada kegiatan penyidikan.
Penjelasan
yang diberikan oleh S.R. Sianturi menunjukkan bahwa tindak pidana sumpah palsu
dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana tersebut dapat terjadi dalam berbagai bidang
hukum, di antaranya bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana.
(2).
Dengan sengaja.
Unsur “dengan sengaja” merupakan bagian dari unsur
kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Dalam doktrin (pendapat ahli hukum)
dan yurisprudensi sekarang ini sudah umum dikenal adanya tiga macam
kesengajaan, yaitu:
a.
sengaja sebagai maksud;
b.
sengaja dengan kesadaran tentang keharusan; dan,
c.
sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan.
7
Pengertian
“dengan sengaja” dalam Pasal 242 ayat (1) KUHPidana mencakup ketiga macam
kesengajaan tersebut. Sebagai contoh, jika pada seseorang terdapat sengaja
dengan kesadaran tentang kemungkinan maka hal tersebut telah memenuhi unsur
“dengan sengaja” dari tindak pidana sumpah palsu.
Suatu
hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa unsur “dengan sengaja” ini ditempatkan
di tengah-tengah rumusan pasal, yaitu sesudah unsur “dalam keadaan di mana
undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau
mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian”. Jadi, unsur tersebut
tidak tercakup oleh unsur “dengan sengaja”. Dengan demikian, pelaku tidak perlu
mengetahui bahwa keterangan yang diberikannya itu memang harus dikuatkan dengan
suatu sumpah atau janji.
Unsur
yang diliputi oleh unsur “dengan sengaja” ini adalah unsur yang ditempatkan
sesudah unsur “dengan sengaja”, yaitu unsur “memberi keterangan palsu di atas
sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu”.
(3).
Memberi keterangan palsu di atas/di bawah sumpah, baik dengan lisan atau
tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.
Dalam Pasal 242 ayat (3)
KUHPidana ditentukan bahwa disamakan dengan sumpah adalah “janji” atau
“penguatan” yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi
pengganti sumpah.
Beberapa putusan pengadilan
yang dikemukakan oleh Lamintang dan Samosir
berkenaan dengan unsur ini adalah sebagai berikut:
a. Putusan Hoge
Raad 25 Juni 1928, di mana diberikan pertimbangan bahwa, “suatu keterangan itu
adalah palsu, jika sebahagian dari keterangan itu adalah tidak benar, walaupun
yang sebagian ini mempunyai arti yang tidak demikian pentingnya.
b. Putusan Hoge Raad, 4 April 1938, di mana diberikan pertimbangan
bahwa, “juga apabila beberapa bagian dari suatu keterangan itu adalah tidak
palsu, Hakim dapat menganggap keterangan itu sebagai satu kesatuan dan
menyatakan terrbukti, bahwa keterangan itu adalah palsu tanpa pembebasan untuk
sebagian”.
Dua putusan yang dikutipkan di
atas menunjukkan bahwa jika sebagian atau beberapa bagian dari keterangan yang
diberikan itu tidak benar (palsu), sekalipun sebenarnya bagian yang tidak benar
(palsu) itu tidak begitu penting,
8
perbuatan itu sudah termasuk
ke dalam pengertian sumpah palsu.
c. Putusan Hoge Raad, 17 Juni 1889, di mana diberikan pertimbangan
bahwa, suatu keterangan saksi itu dianggap belum ada, sebelum pemeriksaan saksi
di sidang pengadilan itu selesai, juga apabila kesaksian itu adalah palsu.
Apabila seorang saksi mencabut kembali keterangannya sebelum pemeriksaannya itu
selesai, maka bagian yang dicabut kembali itu bukanlah merupakan bagian dari
keterangannya, walaupun seandainya benar bahwa pencabutan kembali itu adalah
sebagai akibat dari adanya peringatan bahwa ia dapat dikenakan penahanan karena
memberikan keterangan di bawah sumpah secara palsu.
Berdasarkan pertimbangan
tersebut, nanti ada tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap
saksi yang bersangkutan telah selesai. Selama saksi itu masih diperiksa, saksi
tersebut masih dapat menarik kembali keterangannya. Jika saksi itu menarik
kembali keterangannya sebelum pemeriksaan terhadap dirinya sebagai saksi belum
selesai, maka belum terjadi tindak pidana sumpah palsu yang dapat dipidana berdasarkan
Pasal 242 KUHP
2.4 Unsur-unsur
Objektif Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
A. Dalam keadaan UU menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah
Isi sumpah yang menyatakan ia akan memberikan keterangan
sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya saksi wajib mengambil sumpah :
¨ Perkara Pidana : Dalam Pasal 160 (3) KUHP
¨ Perkara Perdata : Dalam Pasal 147 HIR Jo
Pasal 1911 KUHPerdata
B. Mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah
¨ Sumpah yang diminta oleh salah satu pihak pada pihak lawannya
ü Dalam perkara perdata disebut sumpah pemutus,
diatur dalam Pasal 156 HIR jo pasal 1929 (1e) KUHPerdata
ü Mempunyai akibat hukum menang atau kalahnya
suatu perkara
¨ Sumpah yang diminta hakim pada salah satu
pihak
ü Dalam perkara perdata disebut sumpah
tambahan, diatur dalam Pasal 155 HIR jo pasal 1929 (2e) KUHPerdata dan 1940 KUHPerdata
ü Mempunyai akibat hukum menang atau kalahnya
suatu perkara
¨ Perbuatannya memberikan keterangan di atas
sumpah
ü Memberikan keterangan dimana sebelum
keterangan disampaikan
9
terlebih dahulu seseorang mengangkat sumpah
yang menyatakan ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain
dari yang sebenarnya---kejahatan terjadi saat pemberian keterangan
ü Memberikan keterangan terlebih dahulu, yang
kemudian keterangan Itu dikuatkan dengan suatu sumpah ---kejahatan terjadi saat
bersumpah
¨ Dengan lisan atau tulisan
ü Lisan : keterangan secara lisan yang
disampaikan di muka Pengadilan
ü Tulisan : keterangan tertulis dan ada
pernyataan sumpah pembuat Keterangan, Contoh : BAP
¨ Secara pribadi atau seorang kuasanya
ü Kalau kuasanya mempunyai sikap batin yang sama, maka dia menjadi Medeplegen
(turut
serta melakukan)
ü Kalau kuasanya tidak mengetahui kepalsuan
keterangan pemberi kuasa, maka dia menjadi manus ministra (pembuat
langsung) tidak dapat di Pidana
¨ Isi
keterangan : berupa keterangan palsu
ü Suatu keterangan yang lain dari yang
sebenarnya
2.5 Unsur-unsur Subyektif
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
Dengan sengaja
Petindak menghendaki melakukan
perbuatan memberikan keterangan
¨
Ia
sadar memberikan keterangan di atas sumpah petindak
mengerti bahwa keterangan yang diberikannya adalah palsu
¨
Ia sadar pemberian keterangan secara pribadi
atau dengan kuasa yang dikehendakinya
¨
Ia sadar pemberian keterangan tersebut dengan lisan
ataupun tulisan
10
Secara Abstrak
Proses pembuktian memegang peranan yang penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Salah satu alat bukti yang penting
dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan
salah satu alat bukti yang sah dalam persidangan perkara pidana, dimana
keterangan saksi adalah alat bukti yang penting dalam rangka membuktikan ada
atau tidaknya suatu peristiwa hukum. Sebelum memberikan keterangan di
persidangan saksi diwajibkan untuk disumpah terlebih dahulu. Sehubungan dengan
kewajiban saksi untuk disumpah terlebih dahulu secara khusus diatur konsekuensi
hukum apabila dilanggar oleh saksi dalam pengertian saksi tersebut tidak
memberikan keterangan dengan sebenarnya sebagaimana lafal sumpah yang telah ia
ucapkan, maka saksi tersebut dapat disangka memberikan keterangan palsu diatas
sumpah yang diancam pidana Pasal 242 KUHP. Saksi yang diduga memberikan
keterangan palsu diatas sumpah ditemukan dalam beberapa persidangan namun tidak
diikuti oleh langkah-langkah lebih lanjut untuk memastikan bahwa para pelakunya
dapat dipersalahkan telah melanggar Pasal 242 KUHP. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui proses penegakan hukum terhadap saksi yang memberikan keterangan
palsu dalam proses peradilan pidana dan implikasi keterangan palsu dalam proses
peradilan pidana.
Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan kepustakaan atau data sekunder. Penelitian ini menggunakan penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif yang tidak hanya pengumpulan atas sesuatu hal tetapi juga dengan analisa terhadap hal tersebut menggunakan data sekunder.
Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yakni penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan kepustakaan atau data sekunder. Penelitian ini menggunakan penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif yang tidak hanya pengumpulan atas sesuatu hal tetapi juga dengan analisa terhadap hal tersebut menggunakan data sekunder.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa
proses penegakan hukum saksi yang memberikan keterangan palsu dalam proses
peradilan pidana dapat dilakukan dengan cara hakim terlebih dahulu menyatakan
bahwa saksi telah memberikan keterangan palsu di persidangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 174 ayat (1) KUHAP atau pihak yang merasa dirugikan karena ada
bukti bahwa saksi telah memberikan keterangan palsu di persidangan perkara
pidana dapat langsung melaporkan kepada pihak kepolisian. Setelah adanya
penetapan hakim tentang saksi yang diduga memberikan keterangan palsu ataupun
melalui pelaporan langsung kepada kepolisian, proses selanjutnya seperti
penanganan perkara pidana pada umumnya dari penyidikan, penuntutan, dan
persidangan untuk membuktikan apakah terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal
242 KUHP yang didukung
11
oleh
alat-alat bukti yang terungkap di persidangan guna mendapatkan putusan dan
Implikasi saksi yang diduga memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan
pidana yaitu akan terhambatnya proses pencarian kebenaran materiil dalam proses
peradilan perkara pidana sebelumnya, berubahnya status para pihak dalam proses
peradilan pidana, yang semula sebagai saksi berubah menjadi tersangka dalam
perkara memberikan keterangan palsu diatas sumpah, menimbulkan tindak pidana
baru, menambah beban aparat penegak hukum, dan memperpanjang proses peradilan
pidana.
2.7 Undang-Undang yang Terkait dengan Sumpah
Palsu dan Keterangan Palsu
Undang-undang Terkait
1.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 37,38)
2.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah (Pasal 115)
3.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 Tentang
Veteran Republik Indonesia (Pasal 22)
4.
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 10 Tahun 1995 Tentang
Kepabeanan (Pasal 103, 107, 108, 110, 111)
5.
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Pasal 41A,43)
6.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Pasal 97, 113,116,117,118,119)
7.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahuun 2011 Tentang Keimigrasian (Pasal 123, 126)
8.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (Pasal 104)
9.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwalikan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pasal 273)
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sumpah
palsu dan Keterangan Palsu dapat dipidana apabila memenuhi unsur-unsur pada
pasal 224 KUHP yaitu :
a)
Berhubungan
dengan kesaksian
b)
Dilakukan dengan sengaja
c)
UU memberikan atau memerintahkan yang bersangkutan harus
memberi keterangan atau sumpah
d)
Keterangan atau sumpah tersebut mengandung kepalsuan, memberikan keterangan yang
tidak asli (tidak benar seolah-olah benar)
e)
Olehnya sendiri atau wakilnya yang ditunjuk untuk itu
f)
Dilakukan secara lisan atau tertulis
g)
Akibat
keterangan palsu tersebut merugikan pihak terdakwa atau memberatkan pihak
terdakwa
h)
Menimbulkan akibat hukum karena adanya sumpah keterangan
palsu tersebut.
Demikian
tulisan ini saya buat. Penulis sadar akan banyaknya kekurangan dan jauh dari
hal sempurna. Masih banyak kesalahan dari makalah ini. Penulis juga membutuhkan
kritik dan saran yang mendidik agar bisa dijadikan motivasi bagi penulis agar
kedepan bisa lebih baik lagi. Terima kasih juga saya ucapkan kepada segala
pihak yang telah membantu hingga makalah ini dapat saya selesaikan.
13
DAFTAR
PUSTAKA
Gerry Muamad Rizki.KUHP &
KUHAP.2007.Permata Press
http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-ix-sumpah-palsu-dan-keterangan-palsu/
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar